Untuk Inu Kencana


Makin bingung dengan kondisi negri ini, resah tak tertahankan.
Semuanya seakan terbalik. Saat ini, negri ini tidak butuh pahlawan lagi, seperti pahlawan masa-masa lalu.
Negri ini butuh pahlawan yang jauh lebih hebat, super power. Pahlawan yang mampu menutupi kebusukan, pahlawan yang lihai membungkam kebenaran, pahlawan yang handal berbohong.
Saat ini, untuk berbuat baik agaknya menjadi hal yang menjijikkan.
Inu kencana namanya. Dia yang tidak diharapkan kehadirannya, karena dia yang membuka tabir gelap sekolah pencetak pemimpin di negri ini.
Dia yang dianggap virus menakutkan maka layak untuk dibunuh, karena nyalinya tak pernah surut untuk membongkar actor-aktor penjahat di IPDN.
Dia yang membuat jelas terlihat oleh semua orang akan kebobrokan IPDN, maka dia harus dilenyapkan.
Kenapa dengan semua ini?
Inu Kencana tak pernah sedikitpun berharap penghargaan akan perannya itu, karena itu bukan tujuannya. Namun sebagai bangsa yang beradab dan tau balas budi, kenapa pemerintah hanya diam dan seolah tak mau peduli dengan aksi-aksinya itu. Pemerintah tak memberikan sedikitpun penghargaan ataupun sekedar ucapan terima kasih.
Malu aku jadi bagian dari bangsa di negri ini.
Untukmu pak, saya mendoakan keselamatanmu, dari serangan musuh-musuhmu, musuh-musuh bangsa.
Kalau aku presiden di negri ini, maka aku akan mengangkatmu menjadi rektorat IPDN. Akau akan memberikan kesempatan yang seluas-luanya untuk meubah total institusi ini.
Tetap berjuang pak!!!

Disfungsi Sosial Rumah Sakit


Ketika seorang dokter memohon rezeki pada Tuhannya,
maka bersiap-siaplah anda menjadi pasien berikutnya
(sebuah anekdot)
Tahukah anda orang yang selalu tampak tenang dan riang ketika anda sakit, bahkan tidak hentinya memberikan anda senyuman? Ya benar, dia adalah seorang dokter. Bisa saja sikap seperti itu memang sikap standar yang harus diperlihatkan oleh seorang dokter, sebagai wujud profesional dan optimisnya akan menyembuhkan penyakit anda, sehingga bisa memberikan rasa keyakinan bahwa penyakit anda bisa disembuhkan. Tapi bisa juga senyuman itu adalah merupakan rasa syukurnya karena dengan penyakit anda maka kocek sang dokter akan segera bertambah. Apapun motif senyuman tersebut, satu hal yang paling pasti bahwa kesembuhan anda sangat ditentukan oleh seberapa besar uang yang anda miliki.
Sangat ironis dan menyayat hati ketika membaca sebuah berita utama di harian umum Nurani Rakyat edisi kamis 24 april 2008 lalu. Pasalnya berita tersebut mengisahkan tentang tragisnya nasib Sri Wahyuni yang hamil 8 bulan tewas dikarenakan kelalaian pelayanan sebuah puskesmas di gumi tatas tuhu trasna. Jika hal itu benar, maka pemerintah wajib turun tangan untuk memberikan sanksi yang tegas kepada petugas yang telah melalaikan tugasnya dengan mengorbankan dua nyawa sekaligus yakni sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungannya.
Seorang sahabat di kampong, Jaki Jamil, menceritakan betapa sedihnya ketika istrinya hendak melahirkan beberapa waktu yang lalu di sebuah rumah sakit milik pemerintah kabupaten Lombok Tengah. Dia menceritakan tentang lamban dan acuhnya petugas rumah sakit, padahal istrinya sudah sangat kesakitan ingin segera mengeluarkan bayi idamannya. Sikap petugas rumah sakit tersebut disebabkan karena ternyata sang suami membawa istrinya ke rumah sakit yang super megah itu hanya dengan modal selembar surat keterangan miskin dari pemerintah desa di mana dia berasal. Karena jengkel dan kecewanya dengan sikap para petugas tersebut, akhirnya di depan petugas dia merobek surat “sial” tersebut, dan meminta agar istrinya mendapatkan pelayanan yang baik berapapun biayanya. Walhasil, “super ajaib”, sikap petugas tersebut berubah 180 derajat. Senyum manis dihamburkan, sikap sopan spontan dipamerkan.
Itulah beberapa kisah sedih mayarakat yang sakit ditambah sakitnya karena sikap para medis yang tidak bersahabat. Jika dua contoh kasus tersebut terjadi di rumah sakit milik pemerintah, maka jangan tanya untuk kasus-kasus yang sering terjadi di rumah sakit atau klinik-klinik swasta. Sudah bisa dipastikan tidak bisa dihitung jumlah kesedihan dan kepedihan akan buruknya pelayanan mereka. Memang bagi anda yang berkantong tebal, apalagi masuk dalam daftar tokoh publik, pelayanan seperti tadi mustahil akan anda temukan. Rumah sakit dan klinik-klinik menyediakan bagi anda sarana yang bisa membuat anda bisa sakit dengan tenang. Ruangan rumah sakit atau klink baik milik pemerintah maupun swasta, bagi anda yang kaya telah disediakan dengan fasilitas yang lengkap. Ruangan dengan full AC, televisi berwarna dengan inci yang besar, kulkas dan kamar mandi yang wangi dan bersih, akan anda tempati. Juga tidak lupa mereka menyiapkan dokter yang telah memiliki “jam terbang” yang cukup tinggi, dilengkapi perawat yang bisa menjamin anda tetap betah di rumah sakit dengan dada yang berdegup kencang ketika tiap kali anda diperiksanya. Setiap saat anda bisa memanggil mereka, bahkan hanya untuk membersihkan mulut anda dari sisa makanan yang nempel dimulut anda. Syukurnya di pulau kita ini belum ada rumah sakit yang menyediakan ruangan karaoke. Tapi hal itu tidak menuntut kemungkinan akan diadakan oleh para “pebisnis “ rumah sakit dan klinik. Seperti yang tersedia di salah satu rumah sakit terbesar di Makassar, di mana para medis bisa melepas rasa bosannya dengan mendendangkan lagu-lau kenangan di ruang karaoke.
Bagaimana dengan ruangan orang miskin. Jangan berharap anda akan menemukan hal yang serupa. Pemandangan anyir akan segera anda saksikan. Pasien dideretkan dalam ranjang-ranjang yang berjejer, dalam satu ruangan saja jumlah paisen bisa sampai 8 (delapan) orang, tentu dengan penyakit yang berbeda-beda. Pelayanan yang baik hanya akan menjadi impian mereka saja, dokter tidak jarang merasa malas untuk mengunjungi dan memeriksa mereka yang berada di ruangan kelas III. Sehinga perawatpun merasa bosan karena hanya merekalah yang dijadikan “budak” oleh dokter untuk memeriksa pasien miskin, maka sikap kecutpun akan segera mereka dapatkan. Bagaimana dengan kamar mandi? Sangat tidak layak, satu kamar mandi untuk pasien-pasien yang berbeda penyakit tadi. Maka bukan kesembuhan yang akan segera mereka dapatkan, melainkan rawan terkena tularan dari pasien lain. Bertambahlah penyakit mereka, dan tambah miskin pulalah mereka.
Maka satu kesimpulan yang pasti bagi saya bahwa, di rumah sakit hanya satu hal yang bisa dibedakan dalam waktu yang sangat singkat di antara pasien, yakni status sosial. Membedakan status sosial jauh lebih mudah ketimbang membedakan status penyakit antara pasien yang satu dengan pasien yang lain. Dengan cukup melihat tulisan di atas pintu ruangan pasien, kita bisa membedakan mana yang berduit tebal dan berkantong tipis. Di atas pintunya telah tertulis kata-kata seperti VIP. Ini menunjukkan orang di dalamnya adalah orang yang sedang menikmati sakitnya dengan fasilitas yang cukup lengkap. Tapi kalau anda melihat di atas pintunya tertulis kelas III, maka sudah bisa dipastikan pasien di dalamnya adalah orang-orang yang siap dengan masalah baru ketika mereka keluar dari rumah sakit, karena bisa jadi mereka menghabiskan uang pinjaman untuk menginap di ruang “pesakitan” tersebut. Karenanya, sangat tepat bila Eko Prasetyo mengatakan, “orang miskin dilarang sakit!”
Saat ini dan untuk masa mendatang, rumah sakit menjadi garapan bisnis yang jauh lebih prospek dibandingkan dengan bisnis mall atau supermarket. Keuntungan akan selalu mengalir ke dalam kas-kas rumah sakit ataupun klinik. Karena setiap orang yang berkunjung ke rumah sakit ataupun klinik, maka sudah bisa dipastikan mereka datang untuk memeriksakan diri yang tentu uang sebagai bayarannya. Berbeda dengan mall atau supermarket. Belum tentu mereka yang datang ke tempat itu akan berbelanja. Bisa jadi mereka hanya sekedar datang untuk jalan-jalan dan melihat barang saja tanpa membeli.
Saya ingat ketika beberapa waktu lalu saya sakit. Sekitar jam 10 malam saya di bawa ke rumah sakit. Dari puskesmas, sampai rumah sakit yang ada di praya dipenuhi oleh pasien. Maka demi kesembuhan saya, orang tua dan kakak saya langsung ke mataram untuk mencari rumah sakit yang masih kosong. Malam itu, kami mendatangi empat rumah sakit sekaligus, hasilnya sama, semua ruangan telah penuh. Dan terakhir kami baru mendapatkan ruangan setelah mendatangi sebuah klinik mewah yang berada di Cakra Negara. Orang tua saya terkejut, karena klinik tersebut hanya menyediakan ruangan dengan tarif Rp 300.000 sampai Rp 1 juta dalam waktu semalam. Untungnya hasil pemeriksaan di ruang UGD menyatakan saya tidak perlu rawat inap. Maka bebaslah saya dari ancaman biaya tinggi tersebut.
Rumah sakit tidak berdiri sendiri. Apotek merupakan rekan bisnis dari rumah sakit atau klinik. “Perselingkuhan” kedua bidang bisnis ini tentu sama-sama memberikan keuntungan yang besar. Di mana apoteklah yang menyediakan berbagai jenis obat, dan dokterlah pemilik rekomendasi tertinggi untuk membeli obat yang tepat bagi pasien. Coba anda lebih jeli melihat perbedaan tarif harga antara yang menggunakan resep dokter dan tanpa menggunakan resep dokter. Anda akan mendapatkan harga dua kali lipat untuk anda yang menggunakan resep dokter, padahal jika tanpa resep dokter pada obat yang sama, anda akan mendapatkan harga yang murah. Setiap dokter memiliki masing-masing kongsi dengan apotek tertentu. Parahnya lagi dengan mitos yang berkembang di masyarakat, mengatakan bahwa tulisan dokter hanya bisa dibaca oleh dokter atau apoteker. Sehingga masyarakat tidak mau mencoba membaca tulisan resep yang diberikan seorang dokter, dan di sinilah intinya ketika resep tersebut hanya berhak dibaca oleh apoteker tempat masayarakat membeli obat, kemudian sang apoteker menuliskan nota harga yang dua kali lipat lebih tinggi dari harga biasanya. Dengan demikian, setiap resep yang ditulis dokter, di sana terdapat jatah dari harga obat yang dinaikkan harganya tersebut.
Pemerintah memang telah berupaya memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, yakni dengan menyediakan asuransi kesehatan miskin (askeskin). Dengan membawa kartu askeskin, masyarakat pemilik kartu tersebut mendapatkan pelayanan gratis. Tapai gratis itu saja tidak cukup tanpa diimbangi oleh pelayanan yang sigap, dan sopan santun para petugas rumah sakit atau puskesmas. Pelayanan yang baik itulah yang akan memberikan sugesti yang lebih besar bagi pasien yang sakit untuk mempercepat kesembuhannya. Kini pemerintah dituntut untuk melakukan evaluasi dan pemantauan yang ketat terhadap pelayanan puskesmas ataupun rumah sakit terhadap masyarakat miskin, sehingga tidak ada lagi yang jatuh korban seperti Sri Wahyuni, ataupun seperti Jaki Jamil. Dan sanksi yang keras harus diberikan bagi pihak-pihak yang mengkebiri sikap pelayanan terhadap masyarakat miskin tersebut. Sehingga rumah sakit atau puskesmas bisa berfungsi sebagaimana yang sebenarnya, yakni memberikan pelayanan terbaik terhadap masyarakat tanpa harus membeda-bedakan status social mereka.

Menggugat Hari Jadi Kebangkitan Nasional


Kebangkitan nasional kini telah genap 100 tahun. Banyak macam cara merayakannya. Semua stasiun televisi menayangkan iklan kebangkitan nasional, dengan dibubuhi audio visual yang “menggigit”, membuat semangat nasional orang yang menontonnya jadi tumbuh dengan penuh gelora. Sanggup membuat bulu kuduk berdiri dan merinding. Mei memang bulan yang menjadi simbol tumbuh kembangnya kebangkitan nasional, bulan yang menjadi titik awal penyatuan semangat bangsa untuk merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah. Tepatnya tangal 20 mei 1908, terbentuk organisasi yang dijadikan simbol perlawanan dan kebangkitan nasional. Budi utomo adalah organisasi tersebut yang dibentuk oleh beberapa mahasiswa Stovia, di antaranya dr. sutomo, yang selanjutnya 20 mei dijadikan sebagai hari kebangkitan nasional. Catatan sejarah menegaskan akan hal itu.
Namun belakangan muncul wacana untuk merubah hari jadi kebangkitan nasional tersebut. Sejarawan seperti Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara dan kaum muda kampus, menuntut agar hari jadi kebangkitan nasional diubah, dengan menjadikan kelahiran Sarekat Dagang Islam sebagai patokan hari jadi kebangkitan nasional. penulis pun sepakat dengan tuntutan tersebut. Kenapa demikian?
Seiring perjalanan gejolak reformasi, mulai tumbuhnya kedewasaan berdemokrasi, kedewasaan dan kebebasan berpendapatpun medapatkan ruangnya. Runtuhnya rezim orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto, menjadi angin yang segar bagi beberapa sejarawan dan kaum muda intelektual untuk berupaya meluruskan sejarah yang kerap dikaburkan. Ada anggapan bahwa kekuasaan orde baru dibangun di atas pembohongan sejarah yang ironisnya sampai saat ini, pemerintah belum berupaya untuk meluruskan sejarah bangsa ini. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum mata pelajaran sejarah yang tidak mengalami perubahan berarti. Kecendrungan atas dasar kepentingan politis (mendapatkan, mempertahankan dan memperkuat kekuasaan), masih mendominasi penulisan sejarah bangsa. Tentang perang Diponogoro misalnya, masih jelas terlihat kebohongan yang ditulis di buku pelajaran Sejarah Nasional Indonesia dan Umum untuk kelas XI yang ditulis oleh I Wayan Badrika terbitan Erlangga. Di halaman 186 tertulis sebab-sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro adalah pembuatan jalan yang melalui makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegal Repo. Ridwan Saidi, pakar Zionisme dalam sebuah dialog menjelaskan bahwa Pangeran Diponegoro tdak akan sepicik itu berperang hanya gara-gara tanah, melainkan perang tersebut terjadi karena Pangeran Diponegoro tidak menghendaki adanya kolonialisme dan karena kecintaannya untuk membela Islam dan bangsa. Begitu juga dengan Sarekat Dagang Islam (SDI), yang seharusnya lebih pantas dijadikan patokan hari kebangkitan nasional, bukan Budi Utomo (BU).
Beberapa hal yang harus dipahami agar pertanyaan di atas bisa terjawab, selain juga membutuhkan kearifan dan kebijaksanaan kita dalam membaca fakta sejarah yang sesungguhnya. Pertama, yang harus diluruskan adalah mengenai waktu kelahiran SDI. Beberapa catatan mengungkapkan bahwa SDI terbentuk pada tahun 1909, setahun setelah Budi Utomo yang lahir pada tanggal 20 Mei 1908. Maka SDI terbentuk karena inspirasi dari organisasi “kaum jawa dan Madura” Budi Utomo tersebut. Letak pelurusannya adalah bahwa hal tersebut adalah sebuah kebohongan dan bentuk pembohongan. Sesungguhnya SDI lahir pada tanggal 16 Oktober 1905. Kelahiran SDI sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan bangsa di bidang ekonomi yang pada saat itu dikuasai oleh penjajah dan kaum Tionghoa. H Samanhudi (pendiri SDI) sangat memahami bahwa bentuk perlawanan penjajahan yang paling mendasar yang berupa pengurasan dan monopoli ekonomi, dengan memperkuat basis ekonomi bangsa.
Kedua, perbedaan yang sangat mencolok lainnya antara SDI dan BU (walaupun sebenarnya hal ini tidak pantas untuk diperbandingkan) adalah ruang lingkup gerakan. SDI memiliki cabang yang cukup luas. Tidak hanya di pulau Jawa semata. Karena SDI mendedikasikan dirinya untuk perjuangan bangsa, maka SDI memiliki cabang di hampir seluruh nusantara, di antaranya Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Sementara BU sendiri, terkesan sangat eksklusif karena hanya mendedikasikan perjuangannya untuk masyarakat Jawa dan Madura semata. BU dengan tegas menolak keanggotaan dari luar pulau Jawa dan Madura. BU menganggap keanggotaan orang dari luar Jawa dan Madura adalah ancaman tersendiri bagi eksistensi organisasinya. Sungguh kenyataan yang pahit, ditengah kepungan kolonialisme, sesama bangsa masih ada rasa curiga dan kekhawatiran. Apakah ini yang dikatakan sebagai nasionalisme, jika ya, sungguh pengertian nasioanalisme yang sangat sempit lagi menyesatkan. Patokan ruang lingkup ini seharusnya dijadikan landasan utama untuk menilai siapa yang nasionalis dan tidak. Padahal nasional berasal dari kata nation, yang berarti bangsa. Bangsa adalah sebuah istilah politis untuk menyebut kelompok masyarakat dalam sebuah teritorial Negara. Maka konsep bangsa ditujukan untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Bangsa Indonesia berarti masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada pembedaan etnis, suku dan agama.
Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara mengatakan bahwa BU tidak menghendaki nasionalisme dan menghadirkan gerakan yang anti terhadap gerakan Islam. Hal ini bisa dilihat dari brosur terbitan BU, yang bernama Djawa Hisworo, yang selalu menyerukan caci maki kepada Rasulullah dan ajaran Islam. KH Ahmad Dahlan pernah meminta agar diadakan pengajian keislaman di dalam tubuh BU. Namun, mayoritas BU menolak usulan tersebut, yang menyebabkan KH Ahmad Dahlan keluar dari keanggotaan BU.
Ketiga, faktor yang harus menjadi alasan untuk mengkaji ulang hari jadi kebangkitan nasional adalah dengan melihat tokoh-tokoh yang berada dalam masing-masing organisasi tersebut. SDI didirikan oleh tokoh-tokoh yang dekat dengan masyarakat, seperti H. Damanhudi, sehingga mereka tahu betul kebutuhan dasar masyarakat. Dan SDI terbuka umum bagi masyarakat untuk ikut bergabung dalam perjuangan melawan kolonialisme. Tidak dibatasi oleh teritorial, yang terpenting memiliki semangat perlawanan maka siapapun dan dari golongan apapun boleh bergabung. Hal ini bertolak belakang dengan tokoh dan keanggotaan BU. Tokoh-tokoh dan keanggotannya hanya diisi oleh kaum priayi (bangsawan) dan orang-orang terpelajar. Kenyataan ini bisa dilihat dari pemimpin-pemimpin BU. Kebanyakan para pemimpin berasal dari kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
BU pada puncak kejayaannya pada tahun 1909 hanya memiliki anggota sebanyak 10.000 orang. Sementara Sarekat Dagang Islam yang kemudian berubah nama menjadi SI, jumlah anggotanya pada tahun 1916 SI memiliki 360.000 anggota, yang kemudian meningkat menjadi dua juta pada tahun 1919.
Dalam buku yang berjudul Sejarah untuk Kelas 2 SMA yang ditulis oleh Prof. Dr. M. Habib Mustopo dkk, yang diterbitkan oleh Yudhistira tahun 2004, keontetikan penulisan tentang pergerakan nasional perlu dipertanyakan. Pada Bab 5, sub judul “Organisasi-organisasi Pergerakan Nasional” hal 181-184, organisasi pergerakan yang ditulis di nomor urut pertama adalah Budi Utomo. Prioritas ini adalah bagian dari pengaburan akan sejarah SDI. Karena SDI tidak disinggung sedikitpun. Memang di nomor urut dua, organisasi yang ditulis adalah Sarekat Islam (S I). Untuk penegasan bahwa SI tidak bisa dipisahkan dengan SDI. Karena SI merupakan metamorphosis dari SDI. Pada tahun 1912, terjadi kekacauan anti Tionghoa, di mana SDI sebagai gerakan melawan perekonomian Tionghoa, dikhawatirkan oleh pemerintah colonial, sehinga SDI harus dibubarkan. Sebagai tindakan antisipasi pemberangusan gerakan, SDI kemudian mengganti namanya menjadi SI. Dalam buku sejarah tersebut, tidak terdapat uraian yang jelas tentang waktu dari kelahiran SI. Penulis hanya mengatakan bahwa SI lahir tiga tahun setelah BU berdiri.
Dari sedikit pembanding di atas, maka sudah sepantasnya momen kebangkitan nasional dirubah demi menghormati dan menghargai para pendahulu kita yang telah merintis kemerdekaan dengan segenap jiwa dan raganya. Dewasalah kita, demi kemurnian sejarah bangsa. Dan untuk kaum muda, tetaplah kritis untuk mengungkap fakta sejarah lainnya. Bagi sejarawan yang telah berumur, mulailah mengajarkan tentang kejujuran pada kami, bangsa yang senantiasa membanggakan kebenaran.

Langkah Awal


Keberanian adalah mengawali sebuah awal

Powered by Blogger